Nggak Perlu Malu! Pentingnya Melawan Stigma Negatif Terhadap Menstruasi
Kamu pernah nggak sih merasa jengah ngomongin menstruasi secara terbuka? Misalnya dengan mengganti kata menstruasi dengan istilah lain seperti “tamu bulanan” atau bahkan “bendera Jepang” dan “dapet”. Mungkin juga, kamu pernah malu saat menanyakan pembalut walaupun ke sesama teman perempuan. Hmm, kenapa ya kita masih malu membicarakanmenstruasi?
Photo by Samson Katt from Pexels
Menstruasi merupakan hal biologis yang wajar dialami perempuan. Saat perempuan menginjak masa remaja, tubuh kita menyiapkan sel telur yang bisa dibuahi oleh sperma laki-laki. Nah, saat ternyata nggak terjadi pembuahan, sel telur tersebut akan mati lalu dikeluarkan oleh tubuh saat masa menstruasi. Siklus haid terjadi secara alami setiap bulannya, sampai perempuan menginjak usia 45-50 tahun dan berhenti menstruasi.
Walaupun menstruasi merupakan hal yang alami, masih ada stigma negatif yang melekat. Beberapa menganggap darah haid merupakan darah kotor, terkontaminasi, dan menjijikan. Selain itu, faktor budaya, agama, hingga kemiskinan juga ikut memperparah pandangan buruk terhadap menstruasi. Hingga kini perempuan masih sering mendapatkan perlakuan diskriminatif saat sedang haid karena stigma negatif tersebut. Mulai dari diskriminasi fisik seperti dilarang melakukan kegiatan tertentu atau dianggap lemah. Hingga dijadikan lelucon yang menganggap perempuan terlalu baper saat mengalami siklus menstruasi.
Di beberapa negara seperti India dan Nepal, banyak perempuan yang mengalami diskriminasi saat sedang haid, seperti dikucilkan dari lingkungan atau bahkan dikurung di rumah pengungsian. Hal ini terjadi karena faktor budaya yang menganggap perempuan yang sedang menstruasi itu kotor dan nggak suci.
Sedangkan di Indonesia, data riset UNICEF mengungkapkan kalau 17% anak perempuan mengaku pernah diejek oleh murid lainnya di sekolah saat ketahuan mengalami menstruasi.
Padahal, ketika menstruasi dianggap memalukan, edukasi mengenai hal tersebut ikut terhambat dan merugikan perempuan lho.
Menurut riset dari Plan International Indonesia, lebih dari 60% orang tua di Indonesia nggak pernah memberikan penjelasan secara utuh mengenai menstruasi pada anak perempuan mereka. Hal ini tentunya jadi salah satu faktor yang ikut menambah stigma negatif terhadap menstruasi.
Photo by cottonbro from Pexels
Permasalahan edukasi mengenai menstruasi yang kurang merata ini juga bisa menimbulkan masalah lain, seperti minimnya akses kebersihan dan kesehatan yang memadai serta tingginya resiko terkena penyakit pada organ reproduksi. Mulai dari terkena infeksi, peradangan, hingga penyakit menular seksual. Duh, bahaya banget ya!
Hal ini tentu menjadi tantangan bagi sesama perempuan. Siklus haid merupakan sebuah proses yang normal, sehingga seharusnya bukan hal yang aneh untuk dibicarakan. Dengan lebih terbuka membahas mengenai menstruasi, perempuan bisa mendapatkan akses yang memadai untuk lebih memahami dan merawat tubuh mereka.
Mendobrak stigma negatif terhadap menstruasi tentunya harus dilakukan semua orang di berbagai lapisan masyarakat. Bisa dimulai dengan edukasi di rumah oleh orang tua, informasi yang lengkap oleh guru di sekolah, hingga diskusi terbuka di media sosial.
Dari fitur Instagram Question yang diadakan di @womenhealthypedia, hampir 80% menyatakan bahwa pembahasan tentang menstruasi di depan umum harus dinormalkan loh.
Dari hasil jawaban-jawaban di atas, banyak yang berpendapat kalau obrolan menstruasi itu wajar karena memang hal yang alami terjadi pada perempuan. Selain itu, edukasi tentang menstruasi juga penting supaya nggak ada lagi kesalahpahaman tentang hal tersebut. Gimana menurut kamu? Yuk, ikutan diskusinya di akun Instagram @womenhealthypedia sekarang!